Kasus palanggaran hokum ITE
Hari Selasa 30 Jun, satu lagi kasus pencemaran nama baik melalui media elektronik internet, yang bisa diancam dengan UU-ITE (Undang Undang Informasi & Transaksi Elektronik) terjadi.
Bila kita perhatikan, kasus
Jadi bila pada kasus ibu Prita motifnya menulis
Beranjak dari kasus
Kalau tulisan kita berisi fitnah, kabar bohong, penghinaan atau semacamnya terhadap diri orang lain, maka apabila orang tersebut tidak terima dan merasa dirugikan, kita bisa dituntut telah melakukan pencemaran nama baik, yang merupakan hak asasi manusia, yang juga dilindungi oleh undang-undang (KUHP, pasal 310-311). Di negeri ini sebagaimana juga di banyak negeri lain, pasal-pasal tentang pencemaran nama baik itu masih dipertahankan dengan alasan fitnah bisa berujung kepada pembunuhan karakter (character assassination). Jadi ada keseimbangan antara kebebasan berpendapat di satu sisi dan pencemaran nama baik di sisi yang lain.
Persoalan baru memang muncul ketika undang-undang no. 11 thn. 2008 (UU-ITE) terbit, yang mengatur mengenai pencemaran nama baik melalui media elektronik, dengan ancaman hukuman 6 tahun (UU-ITE, pasal 45, ayat 3). Karena ancaman hukumannya lebih dari 5 tahun, seseorang yang dituduh melakukan pencemaran nama baik (UU-ITE, pasal 27, ayat 3), bisa ditahan bila penuntut umum merasa perlu melakukan itu. Inilah sebabnya ibu Prita langsung ditahan ketika itu.
Ancaman pelanggaran UU-ITE ini jauh lebih berat dibandingkan bila seseorang hanya dituduh melanggar pasal 310 KUHP, yang ancaman hukumannya maksimal 9 bulan, sehingga tidak memenuhi kriteria perlu ditahan. Perbedaan ancaman hukuman yang sangat mencolok ini menjadi issue baru di kalangan akhli hukum, apakah UU-ITE perlu direvisi atau tidak, agar tidak mengekang kebebasan berpendapat.