Sabtu, 04 Juli 2009

Tugas Etika Profesi

Kasus palanggaran hokum ITE

Hari Selasa 30 Jun, satu lagi kasus pencemaran nama baik melalui media elektronik internet, yang bisa diancam dengan UU-ITE (Undang Undang Informasi & Transaksi Elektronik) terjadi. UR dilaporkan kepada pihak yang berwajib oleh F, temannya sendiri yang merasa komentar yang dimuat di situs jejaring sosial Facebook UR telah melampaui batas kepatutan alias sudah mencemar nama baiknya. Akibatnya UR harus siap mempertanggung jawabkan perbuatannya terhadap kemungkinan jeratan pasal-2 UU-ITE dengan ancaman hukuman yang tidak ringan, yaitu 6 tahun.

Bila kita perhatikan, kasus UR ini berbeda dengan kasus ibu Prita yang baru saja dibebaskan hakim pada putusan sela di pengadilan negeri Tangerang beberapa hari yang lalu. Kalau Ibu Prita digugat karena telah menulis surat elektronik yang berisi keluhannya terhadap pelayanan RS Omni International, UR digugat karena telah menulis komentar yang diduga berisi kata-kata penghinaan terhadap F.

Jadi bila pada kasus ibu Prita motifnya menulis surat elektronik itu adalah karena merasa haknya telah dirugikan, pada kasus UR motifnya menulis komentar itu masih belum jelas dan sedang diselidiki oleh pihak yang berwajib. Bila UR tidak bisa memberikan alasan yang masuk akal, agaknya sulit bagi UR untuk menghindar bila dijerat dengan pasal-pasal UU-ITE. Kecuali bila kasus ini berlanjut ke pengadilan dan hakim berpendapat bahwa UU-ITE belum bisa diaplikasikan (sampai dengan setahun sejak diumumkan), seperti pada putusan sela ibu Prita itu.

Beranjak dari kasus UR ini, tampaknya masih saja ada dan mungkin masih cukup banyak pengguna media elektronik internet yang belum sepenuhnya menyadari, bahwa kebebasan berpendapat itu, dimanapun dan melalui media apapun, tidak bisa sembarangan. Tidak bisa bebas 100 persen alias semau gue, karena ada etika dan rambu-rambu yang harus diperhatikan. Apalagi etika dan rambu-rambu itu juga dilindungi oleh undang-undang.

Kalau tulisan kita berisi fitnah, kabar bohong, penghinaan atau semacamnya terhadap diri orang lain, maka apabila orang tersebut tidak terima dan merasa dirugikan, kita bisa dituntut telah melakukan pencemaran nama baik, yang merupakan hak asasi manusia, yang juga dilindungi oleh undang-undang (KUHP, pasal 310-311). Di negeri ini sebagaimana juga di banyak negeri lain, pasal-pasal tentang pencemaran nama baik itu masih dipertahankan dengan alasan fitnah bisa berujung kepada pembunuhan karakter (character assassination). Jadi ada keseimbangan antara kebebasan berpendapat di satu sisi dan pencemaran nama baik di sisi yang lain.

Persoalan baru memang muncul ketika undang-undang no. 11 thn. 2008 (UU-ITE) terbit, yang mengatur mengenai pencemaran nama baik melalui media elektronik, dengan ancaman hukuman 6 tahun (UU-ITE, pasal 45, ayat 3). Karena ancaman hukumannya lebih dari 5 tahun, seseorang yang dituduh melakukan pencemaran nama baik (UU-ITE, pasal 27, ayat 3), bisa ditahan bila penuntut umum merasa perlu melakukan itu. Inilah sebabnya ibu Prita langsung ditahan ketika itu.

Ancaman pelanggaran UU-ITE ini jauh lebih berat dibandingkan bila seseorang hanya dituduh melanggar pasal 310 KUHP, yang ancaman hukumannya maksimal 9 bulan, sehingga tidak memenuhi kriteria perlu ditahan. Perbedaan ancaman hukuman yang sangat mencolok ini menjadi issue baru di kalangan akhli hukum, apakah UU-ITE perlu direvisi atau tidak, agar tidak mengekang kebebasan berpendapat.